Ayo Turun Nak…..

November 25, 2008

foto-nusantara-27-sept-2007-getty-images1Sore itu Kampung Bukitrejo, Tembalang, Kota Semarang kembali geger. Orang tua, anak-anak, perempuan dan laki-laki berkumpul di bawah sebuah menara listrik tegangan tinggi (Sutet). Mereka memandang ke arah atas dan…oh gosh… seorang perempuan sedang duduk di pucuk menara yang menyalurkan tegangan sekitar 150.000 volt atau lebih itu.

Kata warga di situ, nama perempuan berumur 17 tahun itu adalah Erna Yuliana. Seorang perempuan yang sudah ditinggal bapak dan ibunya. “Ia sudah memanjat menara listrik 4 kali. Kalau mencoba bunuh diri sudah 19 kali,” kata Bambang Purwadi, Ketua RT di kampung itu. Buset…

Yang lebih mengherankan, Erna ternyata sudah ada di pucuk menara itu sejak pukul 08.00. Saya datang sekitar pukul 17.00, berarti sudah lebih 10 jam dia nongkrong di atas menara. Saya mencoba mengamati Erna dengan lebih cermat. Ternyata dia tidak membawa apa-apa selain baju yang dipakai dan sandal jepit di kakinya. Rasa ingin tahu apakah dia lapar atau ingin buang air besar pun memuncak. Sayang, saya tidak bisa menanyakan langsung ke dia.

Tinggi menara itu kira-kira 50 meter. Cukup tinggi memang untuk bunuh diri dan mati dengan cepat. Menara itu dibangun di daerah perbukitan dan pasti Erna bisa melihat seluruh Kota Semarang dengan jelas selama di atas menara.

Rasa heran, takjub, dan ngeri terus bercampur. Heran karena kerangka menara di bagian bawah sudah dipasangi kawat berduri. Logikanya mustahil Erna bisa memanjat dengan mudah (saya saja merasa tidak sanggup hanya dengan melihat kawat duri itu). Lebih gawat lagi, listrik beribu-ribu volt masih mengalir di sekitar Erna. “Orang PLN saja kalau mau naik harus matiin listriknya,” ujar Bambang.

Kenapa Erna yang seorang perempuan muda itu nekat nongkrong di atas menara listrik seharian? “Sejak kelas 3 SD, dia sudah cacat mental. Dia juga pernah mengidap penyakit epilepsi,” tambah Bambang.

Di dekat menara itu ada menara yang sama. Sekitar tiga bulan lalu, Erna pernah memanjat menara itu. Kedua menara itu juga sudah dipasangi kawat berduri.

Aksi nekat Erna di menara memang baru empat kali. Tapi aksi-aksi lainnya yang sebenarnya hanya lazim dilakukan oleh seorang stunt man pernah ia lakukan. Pernah ia mencoba bergelantungan di bawah jembatan atau memanjat atap rumah dan masih banyak lainnya.

Setelah bertanya pada beberapa warga, ternyata Erna memiliki hasrat untuk segera menikah seperti saudara-saudaranya. Tetapi keinginan itu tidak pernah tercapai dan Erna pun semakin menderita.

Tetapi aksi yang dilakukan Erna pada sore itu dipicu oleh kejadian sepele. Ia merasa kecewa sekaligus jengkel terhadap keponakannya yang ngompol di kasurnya. Karena marah, ia lantas nekat memanjat menara itu tanpa sepengetahuan warga lainnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 dan hari makin gelap. Namun, Erna tetap saja menolak diminta turun. Ia tetap duduk dengan santai di atas palang tertinggi menara itu sambil melihat ke arah lain.

Tak lama beberapa petugas polisi dari Polres Semarang Selatan datang. Bersama warga, mereka ikut berteriak, memohon Erna untuk turun. Erna..Erna…tetap saja dia tidak menggubris permintaan tetangga-tetangganya.

Setelah berdiskusi dengan warga, Kanit I Polres Semarang Selatan Hengky Prasetyo membuat penawaran dengan Erna. Ia mengambil selembar uang Rp 50.000 dan melambai-lambaikan kepada Erna. “Ayo Na, turun. Kalau mau turun saya kasih uang”.

Ternyata uang berwarna biru itu bukan sesuatu yang menarik bagi Erna. Hengky pun memasukkan uang itu dan mengambil lembaran lainnya. Kali ini berwarna merah, Rp 100.000. Wah…tetap saja Erna emoh dengan bujuk rayu Hengky.

“Heran, biasanya dia mau lho kalau ditawari uang,” kata Bambang. Cara itu selalu dilakukan warga jika Erna sedang melakukan aksi-aksi nekatnya.

Hengky pun mengambil lebih banyak uang, kira-kira ada 5 lembar Rp 100.000-an. Erna hanya melongok ke bawah dan kembali memandangi Kota Semarang seakan tidak ada apa-apa. Hengky pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Polisi dan warga rupanya sudah capek berteriak. Mereka pun meminjam pengeras suara aktif milik salah satu warga. Komunikasi dengan Erna pun kembali dilanjutkan. “Ayo dong, turun Erna. Sudah hampir gelap”. Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu datangnya tim SAR.

“Pokoknya Erna harus dirawat di rumah sakit jiwa setelah kejadian ini,” kata Hengky. Tapi Bambang hanya mendesah. Rupanya ia sudah lama membujuk keluarga Erna soal itu, tapi mereka menolaknya. Entah alasan apa yang mereka miliki. Saya pun tidak bisa mendapat jawaban dari keluarga perempuan malang itu.

“Warga sudah bosan sekaligus jengkel sekaligus khawatir mas, tapi bagaimana lagi,” kata Bambang. Warga pun pernah berpikir untuk meminta Erna agar dipasung. Tapi itu merupakan jalan keluar yang buruk karena pemasungan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Tapi sekali lagi, warga sudah bosan dan capek.

Langit pun semakin gelap dan Erna masih sibuk dengan dunianya sendiri. Sayang, saya tidak bisa melihat bagaimana Erna akhirnya bisa turun. Sore itu saya masih punya utang dua berita yang belum saya ketik untuk dimuat besoknya.

Dalam perjalanan pulang, kejadian itu tidak dapat saya lupakan. Sebuah peristiwa sosial yang sebenarnya banyak terjadi di banyak daerah dalam bentuk berbeda. Depresi yang dialami seseorang toh juga berdampak pada orang lain. Semoga bangsa ini tidak lagi mendapat cobaan-cobaan yang membuat orang bertambah depresi. Semoga tidak ada lagi Erna yang lain. Semoga kita dapat dengan sadar turun dari “menara”. Bisakah?