Kena Mata Ikan, Coba Diplester Aja!

Maret 7, 2009

plester-mata-ikan2Penyakit paling menyebalkan yang saya derita akhirnya hilang:) Kata orang, penyakit ini sangat tidak bergengsi. Namanya aja mata ikan (dalam bahasa jawa namanya bubulen). Orang mengidentikan penyakit ini sebagai penyakit yang sering diderita para pekerja kasar.

Tidak tanggung-tanggung, saya punya dua mata ikan, satu di telapak kaki kiri, dan satu lagi di kaki kanan. Rasanya? huah…sangat menyebalkan. Kalau pagi, rasanya sakit, apalagi kalau dipakai buat jalan. Lebih sakit lagi kalau saya ikut main futsal dengan teman kantor. Tiap habis nendang rasanya nyut..nyut. Terpaksa deh, sebelum berfutsal ria, saya sisipin beberapa potong kapas kecantikan. Lumayan, mata ikan tidak langsung kena alas sepatu dan tentu saja mengurangi gesekan yang menyakitan.

Tapi apa harus selalu begitu? Tentu tidak, penyakit ini harus hilang. Salah satu cara adalah dengan operasi di rumah sakit (baca artikel saya tentang mata ikan sebelumnya). Well, operasi ini ternyata cukup berhasil. Kenapa hanya cukup? Ternyata setelah operasi, bekas lubang mata ikan tetap ada dan masih mengeras. Saya khawatir jika mata ikan tumbuh lagi. Habis, biaya operasi saja cukup mahal (rp 200.000), masa mata ikannya tumbuh lagi. Lagipula, masih ada satu mata ikan yang belum dioperasi, yaitu yang ada di kaki kanan saya.

Akhirnya ketika saya berada di Jogja menikmati masa cuti selama tiga hari pada akhir Januari lalu, saya menemukan obat mata ikan yang tidak saya duga sebelumnya. Obat itu berbentuk plester. Mirip plester luka pada umumnya, tetapi plester ini punya obat berwarna merah kecil berbentuk bundar. Nama plester ini saya tidak tahu pasti karena ditulis dengan huruf cina. Satu pak berisi enam plester. Harganya, maaf, saya lupa. Tapi sangat terjangkau.

Penjual plester itu bilang kalau pengobatan menjadi efektif kalau ditambah dengan mengkonsumsi pil khusus yang diminum satu hari sekali. Satu pil harganya Rp 10.000. Akhirnya saya beli satu pak plester dan tiga pil.

Sebelum tidur, saya mencoba memakai plester tersebut. Bulatan merah yang menjadi obat plester itu ditempelkan tepat di atas mata ikan. Seperti yang dikatakan penjual obat, saya mencoba tidak membasahi plester yang sedang digunakan. Namun, saya tidak meminum pil khusus itu. Saya takut jika ada efek ngantuk atau lainnya.

Lebih satu hari saya memakai plester itu untuk menutupi mata ikan di kaki saya. Tibalah waktunya saya membuka plester itu. Selain sudah lebih satu hari, plester itu sudah sangat kotor dan bercampur air genangan hujan yang menciprat dari jalan. Ketika dibuka, mata ikan saya berwarna merah darah akibat obat dari plester itu. Mata ikan saya menjadi sangat keras sekali. Namun, tidak sakit jika dipegang. Sepertinya obat itu sangat kuat menempel pada mata ikan.

Setelah itu, saya tidak memasang lagi plester ajaib itu pada kedua mata ikan di kaki saya. Lama-kelamaan, warna merah pada mata ikan mulai memudar. Anehnya, rasa nyeri yang sering saya alami sudah mulai menghilang. Ketika saya mencubit dan menggosok-gosok kedua mata ikan itu, rasanya sama sekali tidak sakit.

Beberapa hari kemudian, kulit yang terkena obat plester itu mati dan mengelupas. Sedikit demi sedikit saya tarik kulit mati itu tanpa rasa sakit. Kemudian, inti mata ikan ikut saya kelupas. Tiba-tiba, mata ikan (atau kulit mati?) itu copot. Besarnya seperempat biji kacang. Hal yang sama terjadi di mata ikan di kaki yang satunya.

Setelah itu, saya tidak begitu memperhatikan telapak kedua kaki saya yang terkena mata ikan itu. Saya pun terkejut ketika menyadari bahwa kedua mata ikan itu telah lenyap dan meninggalkan bekas lubang di telapak kaki. Kini bekas lubang itu telah menghilang dan saya bisa melakukan aktivitas dengan nyaman. Good bye mata ikan….


Where is my nest?

Januari 19, 2009

Pekerjaan, kehidupan pribadi, keluarga, obsesi, dan keteraturan selalu tidak pernah akur. Tidak pernah bisa berdiri bersama. Harus ada yang di atas dan yang di bawah. Harus ada sebuah prioritas. Namun, seseorang harus pula merasakan semuanya agar kualitas hidupnya lebih baik dan berkesan.
Itulah persepsi yang tertangkap saat melihat karya-karya Arie Dyanto. Seniman grafiti dan seni grafis stensil asal Yogyakarta ini sedang ‘berbagi’ dalam pameran lukisannya di Galeri Semarang bulan Januari ini. Memang itulah fungsi sebuah karya, sebuah pameran, yaitu dibuat untuk memberi berbagai persepsi kepada penontonnya.
Mungkin tidak semua orang bisa merasakan hal sama yang dimaksudkan Arie dalam karyanya. Dia menamai pamerannya kali ini dengan judul Nesting Journey. Sebuah ekspresi kelelahan seseorang yang telah lama memuaskan diri dengan pekerjaan yang sangat dicintainya.
Arie memaknai dirinya seperti seekor burung yang telah ‘lama’ terbang. Mungkin untuk mencari makan, pasangan, atau bermigrasi. Yang jelas, burung itu terbang ke suatu tempat agar ia bisa tetap hidup. Sebuah kebutuhan hidup yang tidak sadar dilakukan oleh semua orang.
Seniman muda ini bercerita banyak melalui lukisan stensilnya yang ekspresif dan berestetika. Meski banyak warna suram sebagai latar belakang dan coreng moreng warna tak karuan, toh lukisan itu memang jujur. Begitulah sisi kehidupan manusia. Ada sisi kelam dan juga permasalahan yang silih berganti datang.
Dalam karya-karyanya, Arie bercerita bahwa dia ingin sebuah rumah. Dia ingin menyatu dengan keluarga, istrinya, dan tentu saja lingkungan sosialnya. Arie menyadari apa yang dirasakannya itu adalah sebuah naluri manusia biasa.
Kenyataan ini-terus terang-sangat mengusik. Bagaimana tidak? Saya saat ini menggeluti pekerjaan yang membutuhkan totalitas sempurna. Setiap hari, saya tidak pernah mendapat kesempatan untuk berpikir lebih di luar apa yang sedang saya kerjakan. Tidak hanya profesi wartawan saja, mungkin juga jenis pekerjaan lainnya.
Saya merasa, mungkin suatu saat nanti, saya merasakan kebutuhan akan sebuah sarang. Saya merasa harus memulai perjalanan mencari keteraturan dalam hidup saya. Saya harus mulai terbang mencari sarang-begins my nesting journey-atau saya tetap terbang mencari apa yang selama ini belum pernah aku dapat atau rasakan. Tentu saja terbang sendirian. Ini semua tentang pilihan. Thanks Arie for the inspiration.


KELEZATAN TONGSENG BANDENG

Januari 15, 2009
tongseng-bandeng

Ikan bandeng ternyata dapat diolah menjadi berbagai masakan yang mengundang selera. Di Waroeng Bandeng Juwana, Kota Semarang, ada berbagai menu olahan ikan bandeng. Salah satunya adalah tongseng bandeng yang layak menjadi menu pilihan Anda ketika singgah di Kota Semarang.

Wujud tongseng bandeng tidak jauh beda dengan tongseng daging kambing atau sapi. Kuahnya berwarna coklat kekuningan lengkap dengan irisan kol dan tomat. Hidangan itu menjadi lebih lengkap jika disantap dengan sepiring nasi putih. Kuahnya yang sedikit kental terasa manis dan gurih sejak suapan pertama.

“Kuahnya sama dengan kuah gulai, tetapi kami menambah irisan bawang putih, bawang merah, cabai rawit, dan kecap,” kata Captain Waroeng Bandeng Juwana, Abraham Dominggus Dacosta yang akrab dipanggil Ade, Kamis (1/1).

Di dalam kuah tersebut, ada beberapa potongan ikan bandeng duri lunak yang berukuran sedang. Ketika digigit, ikan bandeng itu terasa kering dan gurih. Bumbu kuah tongseng yang meresap ke dalam daging ikan kian menambah kenikmatan.

Menurut Ade, ikan bandeng yang akan dimasak menjadi tongseng harus digoreng sebentar dan ditaburi garam. Alasannya, jika ikan hanya direbus, rasanya akan menjadi hambar.

Tongseng bandeng itu tidak pedas. Bagi pengunjung yang ingin menambah rasa pedas, dapat menaburkan merica bubuk. “Tongseng ini cocoknya dengan merica bubuk,” kata Ade.
Ragam bandeng

Tongseng itu telah menjadi primadona di restoran yang berada di lantai dua pusat oleh-oleh Bandeng Juwana di Jalan Pandanaran 57, Semarang. Menu unik ini lahir sejak restoran itu berdiri tahun 2007.

Harga tongseng bandeng Rp 7.000 per porsi. Menurut Ade, menu tersebut sengaja diciptakan untuk menambah kekayaan cita rasa ikan bandeng. Selama ini, masyarakat hanya mengenal ikan bandeng duri lunak goreng yang disantap dengan sambal dan nasi.

Di restoran itu ada 30-an menu berbahan dasar bandeng dengan harga Rp 6.000-Rp10.000 per porsi seperti pepes bandeng, asem-asem bandeng, bandeng cuan-cuan, dan bandeng srani. “Kami ingin menambah menu rica-rica bandeng dan bandeng acar,” ujar Ade. (Herpin Dewanto)
Dimuat di Kompas Jateng 2 Januari 2009


Waspadai Mata Ikan

Desember 6, 2008

Pengerasan kulit di telapak kaki atau tangan yang disebut mata ikan atau clavus memang menyebalkan. Seperti kapalan tetapi lebih keras dan sakit jika ditekan (kalau di telapak kaki, terasa sakit kalau berjalan). Untuk menghilangkannya secara efektif pun terasa menyakitkan karena harus dioperasi kecil (cauter) dan tentu saja wajib dilakukan oleh dokter.

Mata ikan di telapak kaki kiri saya sudah lama bercokol. Salah satu karakter dari penyakit ini adalah tumbuh dengan pelan dan pasti. Sampai saya tidak menyadari kalau mata ikan di kaki saya itu sudah cukup besar dan berlubang. Kalau pagi terasa sakit sekali jika dipakai berjalan.

Akhirnya, saya membulatkan tekad untuk meminta dokter membedah penyakit ini. Saya pun mendatangi dokter spesialis kulit dan kelamin di Rumah Sakit Elizabeth Semarang.

Begitu melihat mata ikan di kaki saya, Dokter Paulus Yogyartono sepertinya tidak punya pilihan lain. “Berani kan kalo dioperasi, dibius lokal kok,” katanya.

Oke, memang sepertinya itulah solusi yang terbaik. Dengan dibedah, akar mata ikan itu bisa diambil dan berpeluang besar tidak tumbuh lagi. Setelah menyetujui biaya operasi Rp 200.000, saya pun pasrah tergeletak di ranjang periksa.

“Sakit gak dok?”

“Gak, paling sakit dikit pas disuntik”

Benar saja, pas disuntik, sakitnya minta ampun. Padahal, dokter sudah pakai jarum yang paling kecil, tapi rasanya tetap saja seperti kena pecahan kaca. Tidak tanggung-tanggung, empat suntikan obat bius sudah menyebar di sekeliling mata ikan. Sang pasien pun terpaksa menggeliat, meronta dan menggigit lengan kaos. Untung mbak perawat di dekat kaki gak ikut kesepak. This was the worst part of the surgery.

Dokter pun segera menyiapkan, dua buah gunting operasi dan siap menguliti mata ikan. “Dok, apa gak sebaiknya tunggu beberapa menit dulu biar obat biusnya bekerja dulu?”

“Wah, terus saya gak pulang dong, nungguin seharian.” Wah dokter ini, sang pasien kan baru pertama kali mengalami operasi lokal.  Lagipula, ngeri juga liat ada orang lain yang pegang gunting dan siap menyayat kulit di bagian tubuh kita.

Tapi untunglah, proses pencabutan akar mata ikan itu tidak sakit sama sekali. Akhirnya, mata ikan berwarna coklat keputihan sebesar biji kacang itu terambil. Kata dokter, akar itu tertanam setengah sentimeter dari permukaan kulit. Setelah selesai, telapak kaki saya berlubang dan harus dibebat dengan perban. Selama empat hari, kaki tidak boleh kena air dan harus rutin minum obat dari dokter (maaf tulisan nama obat di resep gak jelas sama sekali, mungkin cuma orang farmasi yang paham).

Setelah merasakan sakitnya operasi mata ikan, saya berharap tidak lagi mengidap penyakit ini. Tapi jangan salah, penyakit ini-katakanlah-bukan penyakit kampungan lho. Kata dokter, penyakit ini disebabkan virus. Ada juga yang berpendapat kalau penyakit ini muncul gara-gara sepatu yang dipakai tidak pas dan nyaman.

Saya jadi teringat pengalaman liputan banjir di Jakarta tahun lalu. Sepanjang hari saya berbasah ria di daerah Muara Baru, Jakarta Utara, dengan beralas kaki. Setelah selesai liputan, kayaknya saya sering lupa mencuci kaki dan langsung mengetik berita. Padahal, entah bakteri dan virus macam apa saja yang ada di air banjir itu.

Salah satu langkah paling efektif adalah tetap menjaga kebersihan kaki (terutama bagi orang yang banyak berjalan ketika bekerja). Dan usahakan pula selalu memakai sepatu atau sandal yang tidak menyiksa kaki.

Sayang, masih ada bibit mata ikan di kaki sebelah kanan. Kita tunggu operasi mata ikan babak dua….


Jumpa Pers eh FAns

November 29, 2008

saxssy_blue_by_thornandes

Setelah lama menggeluti dunia pemerintahan kota, hukum dan kriminal, saya jarang bertemu artis untuk diwawancara. Nah akhirnya kesempatan itu datang lagi meski saya tidak tahu banyak tentang kedua artis itu.

Mereka adalah Ardina Rasty dan Irwansyah. Mereka kebetulan akan manggung bareng di Starqueen Semarang, Jumat (28/11). Sebelum cek sound panggung, mereka menyediakan diri untuk diwawancara oleh para wartawan lokal. Kira-kira ada 15 wartawan yang ikut jumpa pers itu.

Tetapi, panitia belum mengizinkan wawancara dimulai sebelum Pak Surya dari Starqueen datang. Akibatnya, para wartawan dan kedua artis itu malah saling berpandangan (mungkin mencoba untuk memahami jalan kehidupan masing-masing).

Tiba-tiba ada salah satu wartawan yang meneriakan usul cerdas. “Irwan, Dina, Bagaimana kalau kalian sekarang kita foto dulu,” katanya. Akhirnya, sesi foto pun dimulai. Irwan mendapat giliran pertama, kemudian Dina yang kedua.

Waktu memotret Dina, para wartawan berjejal dan berusaha berada di paling depan untuk mendapatkan gambar yang bagus. Beruntung, saya dapat berdiri di tengah dan masih leluasa. Saya pu mengeset kamera poket saya. Ketika fokus kamera sudah mengunci obyek dan saya hendak memencet tombol potret, tiba-tiba salah satu teman wartawan berdiri dan memberikan kameranya kepada teman yang lain. “Haha..hehe…kok saya jadi gak kuat nahan. Foto aku dulu bareng si Dina!”

Akhirnya sesi foto pun hancur dan wartawan yang lain ikut nimbrung foto bareng Ardina. Cewek yang ngetop lewat film virgin ini pun cuma bisa senyam senyum dan pasrah..srah.

Tapi buat apa sih foto itu nantinya. “Gini foto itu bisa dibikin kalender. Jadi setiap bulan bisa beda-beda haha…,” ujar salah satu wartawan lokal.

Kejadian serupa juga pernah terjadi ketika Julia Perez datang. Sesi foto bersama pun tak terelakan. Pastinya, antusiasme untuk berfoto bareng Jupe jelas lebih berdaya tarik kuat (anda pasti tahulah kenapa hehe).


Tips Bagaimana Menerjang Banjir Dengan Motor

November 26, 2008

sarinah2Musim hujan telah tiba, jika anda tinggal di kota yang sering terkena banjir, bersiaplah. Paling tidak, anda bisa tetap mobile meski jalan-jalan sudah mirip sungai.

Semarang salah satunya. Kota ini memang sudah lekat dengan imej banjir, seperti Jakarta. Sekali ada hujan deras waktu malam, dijamin paginya beberapa daerah di Semarang Utara kebanjiran.

Masalahnya, siang itu saya harus melintas di jalan Pengapon Semarang untuk meliput banjir. Sesampai di ujung jalan, saya berbelok ke sebuah gang dan mematikan mesin motor. Ternyata jalan itu banjir sudah setinggi kira-kira 30 cm!

Nyali pun ciut karena saya pakai motor Honda Supra Fit. Maklum knalpot motor itu sangat rendah, kalau maksa lewat jalan itu, jelas knalpot motor terendam. Kalau motor sampai mogok, saya tidak mau ambil resiko menghilangkan waktu liputan yang berharga begitu saja.

Masalah terus berlanjut, ternyata jalan itu searah. Otomatis saya harus lewat dijalan itu. Bisa juga melawan arus, siang itu banyak truk dan kendaraan berat lainnya yang lewat.

Ketika berpikir keras bagaimana cara melintasi jalan itu, ada seorang bapak di samping saya. “Sudahlah mas, pakai gigi satu. Gas terus jangan sampai berhenti,” kata bapak itu yang juga siap-siap menerjang banjir.

Setelah membulatkan tekad, akhirnya saya nekat menerabas banjir. Sepanjang jalan, motor saya usahakan agar jalan terus. Deg-degan juga jalan terus. Akhirnya sampai juga di ujung jalan yang kering dengan selamat. Meski sempat jengkel juga karena motor yang lain juga berusaha cepet-cepet dan akibatnya cipratan air mengguyur baju dan tas saya.

Begitulah jika ingin “selamat” di Kota Banjir. Tapi setidaknya saya tetap memilih jalan lain kalau bisa. Sayang kan, motor sekarang mahal, krisis lagi. Eh…justru alam yang membuat kita makin boros.


Stasiun Tawang Banyak Ikannya Lho…

November 26, 2008

cari ikan di tawangSore itu di pertengahan bulan November, ada satu pemandangan yang mungkin jarang bisa dilihat di sebuah stasiun. Bahkan, mungkin itu satu-satunya peristiwa yang terjadi di Stasiun Tawang Semarang.

Bagaimana tidak, baru kali itu saya melihat ada dua anak kecil mencari ikan di sekitar peron stasiun. Mereka memanfaatkan banjir yang merendam stasiun peninggalan zaman Belanda itu. Kira-kira kalau di peron, tinggi air bisa mencapai 20 cm. Di halaman stasiun, lebih parah lagi, 50 cm!. Praktis tidak ada mobil yang bisa parkir disitu.

Dilihat dari ukurannya, kedua anak itu pasti masih SD. Mereka membawa sekantung plastik yang sudah diisi air dan sebuah jaring kecil.Sambil menunduk mereka mencari ikan dari depan kantor kepala stasiun sampai di depan gudang.

“Ini mas, dapat ikan sepat!” Teriak salah satu anak ketika saya tanya ikan apa yang mereka dapat. Di dalam kantung yang ia bawa, kira-kira ada sekitar 10 ikan yang didapat. Kedua anak itu pun semakin bersemangat ketika beberapa penumpang ikut membantu mencari ikan. “Itu lho dek di dekat pintu masuk ada satu,” kata salah satu penumpang yang duduk di ruang tunggu.

Akhirnya, Pak Zahid, Wakil Kepala Stasiun datang. Waktunya bagi saya untuk mewawancarai seputar banjir di stasiun ini yang sepertinya tidak dapat dicegah dan diobati. Sebelum ditanya macem-macem, Pak Zahid menyuruh kedua anak itu pulang. Selesai sudah pencarian ikan sepat di Stasiun Tawang.

Ikan sepat itu akan terus ada di lantai stasiun selama musim banjir. Selama musim hujan, PT KA pun akhirnya mengalihkan fungsi stasiun Tawang ke Stasiun Poncol. Para penumpang pun tidak perlu takut basah terkena genangan banjir.

Bagaimanapun juga, Stasiun Tawang sudah menjadi sarana vital warga Semarang. Sampai kapan kebutuhan transportasi warga terpenuhi dengan baik. Dan sampai kapan pula stasiun itu menjadi kolam ikan. Halo, pemerintah kota Semarang, bagaimana solusinya?


Para Pengamen Pun Tersandung

November 26, 2008

100_5249Dunia jalanan nasional sedang ramai dan tegang! Ada kelompok orang yang sedang populer dan dicari banyak orang. Yah…siapa lagi kalau bukan preman.

Memang bapak-bapak polisi sekarang ini sedang gencar-gencarnya berburu preman. Babat sana babat sini tanpa ampun. Targetnya jalanan bersih dari gangguan preman yang suka malakin bikin resah orang. Emang gak tenang sih kalau kejahatan jalanan terus meninggi. Lama-lama mau keluar rumah buat nyiram tanaman saja ogah.

Tapi, permasalahan tidak berhenti di situ saja. Ternyata sulit bagi polisi untuk menangkap preman tulen. Ketika datang ke Semarang, Wakabareskrim Polri Irjen Paulus Parwoko pernah bilang, dari 4.000 orang yang tertangkap, hanya sekitar 400 orang saja yang terbukti preman. Walah…yang 3.600 lainnya cuma bisa gigit jari pasti.

Memang itulah kenyataannya. Dalam operasi ini, banyak sekali orang nonpreman yang ikut tertangkap, seperti di Semarang juga. Setelah terbukti memiliki kartu tanda pengenal, “korban” bisa pulang. Tapi pengalaman diseret petugas dan diperlakukan seperti seorang kriminal bukanlah pengalaman yang menyenangkan.

Andi, pengamen di sekitar Tugu Muda Semarang pun bercerita. Pada pertengahan November, ia tertangkap saat sedang genjrang-genjreng. “Pokoknya ikut saya sebentar,” Andi menirukan permintaan polisi. Sampailah ia di Polwiltabes Semarang bersama puluhan “preman” lain. Tanpa babibu, ia langsung disuruh duduk di tengah lapangan dan melepas kaos yang dipakainya. Alhasil, tato-tatonya pun menjadi terlihat jelas.

Mereka dipanggil satu per satu untuk membuat surat keterangan jati diri. Setelah membuat cap 10 jari, setiap orang dipotret. Tercatat sudah nama dan wajah mereka di database kepolisian.

“Kalau saya tertangkap ke dua kali, saya akan digunduli. Lha kalau sudah tiga kali, saya bisa dimasukkan ke tahanan,” kata Andi. Sejak itu, Andi merasa was-was setiap kali mau mengamen. Ia pun kucing-kucingan dengan polisi.

Andi semakin tertekan. Ngamen adalah satu-satunya pekerjaan untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Kalau ia tidak tenang bekerja, bagaimana dengan keluarganya? Sejak ada operasi itu, jam kerja Andi berkurang banyak. Kalau dulu ia bisa ngamen 10 jam setiap hari, kini hanya 8 jam. Penghasilan jelas berkurang. Biasanya ia dapat Rp 50 ribu per hari, saat ini ia harus mengencangkan ikat pinggang dengan penghasilan Rp 20 ribu per hari.

“Masak saya disamakan dengan preman, saya kan benar-benar mengamen,” kata Andi. Memang ia mengakui kalau ada pengamen yang suka malak, maksa, dan bahkan menghina orang lain. Tapi kan tidak semua pengamen begitu.

Apakah polisi bisanya hanya menilai buku dari sampulnya saja? Penampilan kotor, baju lusuh, tato di sekujur badan, apakah itu definisi untuk menggambarkan seorang preman? Sampai saat ini belum ada jawaban yang memuaskan.

Akhirnya, Andi dan kawan-kawan seperjuangan membentuk Front Persatuan Pengamen Semarang (FPPS). Mereka lantas ingin berdiskusi dengan polisi dan minta perlindungan. Kalau tidak bisa berdiskusi, aksi massa menjadi jalan terakhir.

Bisa jadi, masih banyak Andi-Andi lainnya yang bersembunyi di belakang semak-semak sambil membawa gitar, bass, atau alat musik sederhana lainnya. Jelaslah kalau pengamen ingin berteriak sekencang-kencangnya.

Polisi juga tidak salah jika ingin memberantas kejahatan di jalanan. Semua orang pasti ingin tenang di jalan. Tapi sudah adakah prosedur yang lebih baik? Atau ini hanya sebuah “perlombaan” semata bagi para polisi. Kata Paulus, pemberantasan preman ini jadi salah satu alat untuk menilai kinerja polisi. Semakin banyak preman yang ditangkap, berarti semakin baik pula nilainya.

Pengalaman tersandung inilah yang seharusnya dimanfaatkan pula oleh para pengamen. Tidak bisa disangkal lagi, kehadiran para pengamen sering membuat risih. Apalagi dengan suara pas-pasan dan gitar yang belum distem, eh minta bayaran Rp 1.000. Lagu musisi terkenal saja yang harganya jutaan bisa dengan mudah didonlod gratis dengan kualitas CD.

Mbok paguyuban para pengamen itu sering membuat kegiatan latihan bareng biar nyanyinya bagus. Itu baru namanya musisi sejati. Bukan lagi preman bersenjatakan gitar butut.


Ayo Turun Nak…..

November 25, 2008

foto-nusantara-27-sept-2007-getty-images1Sore itu Kampung Bukitrejo, Tembalang, Kota Semarang kembali geger. Orang tua, anak-anak, perempuan dan laki-laki berkumpul di bawah sebuah menara listrik tegangan tinggi (Sutet). Mereka memandang ke arah atas dan…oh gosh… seorang perempuan sedang duduk di pucuk menara yang menyalurkan tegangan sekitar 150.000 volt atau lebih itu.

Kata warga di situ, nama perempuan berumur 17 tahun itu adalah Erna Yuliana. Seorang perempuan yang sudah ditinggal bapak dan ibunya. “Ia sudah memanjat menara listrik 4 kali. Kalau mencoba bunuh diri sudah 19 kali,” kata Bambang Purwadi, Ketua RT di kampung itu. Buset…

Yang lebih mengherankan, Erna ternyata sudah ada di pucuk menara itu sejak pukul 08.00. Saya datang sekitar pukul 17.00, berarti sudah lebih 10 jam dia nongkrong di atas menara. Saya mencoba mengamati Erna dengan lebih cermat. Ternyata dia tidak membawa apa-apa selain baju yang dipakai dan sandal jepit di kakinya. Rasa ingin tahu apakah dia lapar atau ingin buang air besar pun memuncak. Sayang, saya tidak bisa menanyakan langsung ke dia.

Tinggi menara itu kira-kira 50 meter. Cukup tinggi memang untuk bunuh diri dan mati dengan cepat. Menara itu dibangun di daerah perbukitan dan pasti Erna bisa melihat seluruh Kota Semarang dengan jelas selama di atas menara.

Rasa heran, takjub, dan ngeri terus bercampur. Heran karena kerangka menara di bagian bawah sudah dipasangi kawat berduri. Logikanya mustahil Erna bisa memanjat dengan mudah (saya saja merasa tidak sanggup hanya dengan melihat kawat duri itu). Lebih gawat lagi, listrik beribu-ribu volt masih mengalir di sekitar Erna. “Orang PLN saja kalau mau naik harus matiin listriknya,” ujar Bambang.

Kenapa Erna yang seorang perempuan muda itu nekat nongkrong di atas menara listrik seharian? “Sejak kelas 3 SD, dia sudah cacat mental. Dia juga pernah mengidap penyakit epilepsi,” tambah Bambang.

Di dekat menara itu ada menara yang sama. Sekitar tiga bulan lalu, Erna pernah memanjat menara itu. Kedua menara itu juga sudah dipasangi kawat berduri.

Aksi nekat Erna di menara memang baru empat kali. Tapi aksi-aksi lainnya yang sebenarnya hanya lazim dilakukan oleh seorang stunt man pernah ia lakukan. Pernah ia mencoba bergelantungan di bawah jembatan atau memanjat atap rumah dan masih banyak lainnya.

Setelah bertanya pada beberapa warga, ternyata Erna memiliki hasrat untuk segera menikah seperti saudara-saudaranya. Tetapi keinginan itu tidak pernah tercapai dan Erna pun semakin menderita.

Tetapi aksi yang dilakukan Erna pada sore itu dipicu oleh kejadian sepele. Ia merasa kecewa sekaligus jengkel terhadap keponakannya yang ngompol di kasurnya. Karena marah, ia lantas nekat memanjat menara itu tanpa sepengetahuan warga lainnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 dan hari makin gelap. Namun, Erna tetap saja menolak diminta turun. Ia tetap duduk dengan santai di atas palang tertinggi menara itu sambil melihat ke arah lain.

Tak lama beberapa petugas polisi dari Polres Semarang Selatan datang. Bersama warga, mereka ikut berteriak, memohon Erna untuk turun. Erna..Erna…tetap saja dia tidak menggubris permintaan tetangga-tetangganya.

Setelah berdiskusi dengan warga, Kanit I Polres Semarang Selatan Hengky Prasetyo membuat penawaran dengan Erna. Ia mengambil selembar uang Rp 50.000 dan melambai-lambaikan kepada Erna. “Ayo Na, turun. Kalau mau turun saya kasih uang”.

Ternyata uang berwarna biru itu bukan sesuatu yang menarik bagi Erna. Hengky pun memasukkan uang itu dan mengambil lembaran lainnya. Kali ini berwarna merah, Rp 100.000. Wah…tetap saja Erna emoh dengan bujuk rayu Hengky.

“Heran, biasanya dia mau lho kalau ditawari uang,” kata Bambang. Cara itu selalu dilakukan warga jika Erna sedang melakukan aksi-aksi nekatnya.

Hengky pun mengambil lebih banyak uang, kira-kira ada 5 lembar Rp 100.000-an. Erna hanya melongok ke bawah dan kembali memandangi Kota Semarang seakan tidak ada apa-apa. Hengky pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Polisi dan warga rupanya sudah capek berteriak. Mereka pun meminjam pengeras suara aktif milik salah satu warga. Komunikasi dengan Erna pun kembali dilanjutkan. “Ayo dong, turun Erna. Sudah hampir gelap”. Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu datangnya tim SAR.

“Pokoknya Erna harus dirawat di rumah sakit jiwa setelah kejadian ini,” kata Hengky. Tapi Bambang hanya mendesah. Rupanya ia sudah lama membujuk keluarga Erna soal itu, tapi mereka menolaknya. Entah alasan apa yang mereka miliki. Saya pun tidak bisa mendapat jawaban dari keluarga perempuan malang itu.

“Warga sudah bosan sekaligus jengkel sekaligus khawatir mas, tapi bagaimana lagi,” kata Bambang. Warga pun pernah berpikir untuk meminta Erna agar dipasung. Tapi itu merupakan jalan keluar yang buruk karena pemasungan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Tapi sekali lagi, warga sudah bosan dan capek.

Langit pun semakin gelap dan Erna masih sibuk dengan dunianya sendiri. Sayang, saya tidak bisa melihat bagaimana Erna akhirnya bisa turun. Sore itu saya masih punya utang dua berita yang belum saya ketik untuk dimuat besoknya.

Dalam perjalanan pulang, kejadian itu tidak dapat saya lupakan. Sebuah peristiwa sosial yang sebenarnya banyak terjadi di banyak daerah dalam bentuk berbeda. Depresi yang dialami seseorang toh juga berdampak pada orang lain. Semoga bangsa ini tidak lagi mendapat cobaan-cobaan yang membuat orang bertambah depresi. Semoga tidak ada lagi Erna yang lain. Semoga kita dapat dengan sadar turun dari “menara”. Bisakah?