Jumpa Pers eh FAns

November 29, 2008

saxssy_blue_by_thornandes

Setelah lama menggeluti dunia pemerintahan kota, hukum dan kriminal, saya jarang bertemu artis untuk diwawancara. Nah akhirnya kesempatan itu datang lagi meski saya tidak tahu banyak tentang kedua artis itu.

Mereka adalah Ardina Rasty dan Irwansyah. Mereka kebetulan akan manggung bareng di Starqueen Semarang, Jumat (28/11). Sebelum cek sound panggung, mereka menyediakan diri untuk diwawancara oleh para wartawan lokal. Kira-kira ada 15 wartawan yang ikut jumpa pers itu.

Tetapi, panitia belum mengizinkan wawancara dimulai sebelum Pak Surya dari Starqueen datang. Akibatnya, para wartawan dan kedua artis itu malah saling berpandangan (mungkin mencoba untuk memahami jalan kehidupan masing-masing).

Tiba-tiba ada salah satu wartawan yang meneriakan usul cerdas. “Irwan, Dina, Bagaimana kalau kalian sekarang kita foto dulu,” katanya. Akhirnya, sesi foto pun dimulai. Irwan mendapat giliran pertama, kemudian Dina yang kedua.

Waktu memotret Dina, para wartawan berjejal dan berusaha berada di paling depan untuk mendapatkan gambar yang bagus. Beruntung, saya dapat berdiri di tengah dan masih leluasa. Saya pu mengeset kamera poket saya. Ketika fokus kamera sudah mengunci obyek dan saya hendak memencet tombol potret, tiba-tiba salah satu teman wartawan berdiri dan memberikan kameranya kepada teman yang lain. “Haha..hehe…kok saya jadi gak kuat nahan. Foto aku dulu bareng si Dina!”

Akhirnya sesi foto pun hancur dan wartawan yang lain ikut nimbrung foto bareng Ardina. Cewek yang ngetop lewat film virgin ini pun cuma bisa senyam senyum dan pasrah..srah.

Tapi buat apa sih foto itu nantinya. “Gini foto itu bisa dibikin kalender. Jadi setiap bulan bisa beda-beda haha…,” ujar salah satu wartawan lokal.

Kejadian serupa juga pernah terjadi ketika Julia Perez datang. Sesi foto bersama pun tak terelakan. Pastinya, antusiasme untuk berfoto bareng Jupe jelas lebih berdaya tarik kuat (anda pasti tahulah kenapa hehe).


Tips Bagaimana Menerjang Banjir Dengan Motor

November 26, 2008

sarinah2Musim hujan telah tiba, jika anda tinggal di kota yang sering terkena banjir, bersiaplah. Paling tidak, anda bisa tetap mobile meski jalan-jalan sudah mirip sungai.

Semarang salah satunya. Kota ini memang sudah lekat dengan imej banjir, seperti Jakarta. Sekali ada hujan deras waktu malam, dijamin paginya beberapa daerah di Semarang Utara kebanjiran.

Masalahnya, siang itu saya harus melintas di jalan Pengapon Semarang untuk meliput banjir. Sesampai di ujung jalan, saya berbelok ke sebuah gang dan mematikan mesin motor. Ternyata jalan itu banjir sudah setinggi kira-kira 30 cm!

Nyali pun ciut karena saya pakai motor Honda Supra Fit. Maklum knalpot motor itu sangat rendah, kalau maksa lewat jalan itu, jelas knalpot motor terendam. Kalau motor sampai mogok, saya tidak mau ambil resiko menghilangkan waktu liputan yang berharga begitu saja.

Masalah terus berlanjut, ternyata jalan itu searah. Otomatis saya harus lewat dijalan itu. Bisa juga melawan arus, siang itu banyak truk dan kendaraan berat lainnya yang lewat.

Ketika berpikir keras bagaimana cara melintasi jalan itu, ada seorang bapak di samping saya. “Sudahlah mas, pakai gigi satu. Gas terus jangan sampai berhenti,” kata bapak itu yang juga siap-siap menerjang banjir.

Setelah membulatkan tekad, akhirnya saya nekat menerabas banjir. Sepanjang jalan, motor saya usahakan agar jalan terus. Deg-degan juga jalan terus. Akhirnya sampai juga di ujung jalan yang kering dengan selamat. Meski sempat jengkel juga karena motor yang lain juga berusaha cepet-cepet dan akibatnya cipratan air mengguyur baju dan tas saya.

Begitulah jika ingin “selamat” di Kota Banjir. Tapi setidaknya saya tetap memilih jalan lain kalau bisa. Sayang kan, motor sekarang mahal, krisis lagi. Eh…justru alam yang membuat kita makin boros.


Stasiun Tawang Banyak Ikannya Lho…

November 26, 2008

cari ikan di tawangSore itu di pertengahan bulan November, ada satu pemandangan yang mungkin jarang bisa dilihat di sebuah stasiun. Bahkan, mungkin itu satu-satunya peristiwa yang terjadi di Stasiun Tawang Semarang.

Bagaimana tidak, baru kali itu saya melihat ada dua anak kecil mencari ikan di sekitar peron stasiun. Mereka memanfaatkan banjir yang merendam stasiun peninggalan zaman Belanda itu. Kira-kira kalau di peron, tinggi air bisa mencapai 20 cm. Di halaman stasiun, lebih parah lagi, 50 cm!. Praktis tidak ada mobil yang bisa parkir disitu.

Dilihat dari ukurannya, kedua anak itu pasti masih SD. Mereka membawa sekantung plastik yang sudah diisi air dan sebuah jaring kecil.Sambil menunduk mereka mencari ikan dari depan kantor kepala stasiun sampai di depan gudang.

“Ini mas, dapat ikan sepat!” Teriak salah satu anak ketika saya tanya ikan apa yang mereka dapat. Di dalam kantung yang ia bawa, kira-kira ada sekitar 10 ikan yang didapat. Kedua anak itu pun semakin bersemangat ketika beberapa penumpang ikut membantu mencari ikan. “Itu lho dek di dekat pintu masuk ada satu,” kata salah satu penumpang yang duduk di ruang tunggu.

Akhirnya, Pak Zahid, Wakil Kepala Stasiun datang. Waktunya bagi saya untuk mewawancarai seputar banjir di stasiun ini yang sepertinya tidak dapat dicegah dan diobati. Sebelum ditanya macem-macem, Pak Zahid menyuruh kedua anak itu pulang. Selesai sudah pencarian ikan sepat di Stasiun Tawang.

Ikan sepat itu akan terus ada di lantai stasiun selama musim banjir. Selama musim hujan, PT KA pun akhirnya mengalihkan fungsi stasiun Tawang ke Stasiun Poncol. Para penumpang pun tidak perlu takut basah terkena genangan banjir.

Bagaimanapun juga, Stasiun Tawang sudah menjadi sarana vital warga Semarang. Sampai kapan kebutuhan transportasi warga terpenuhi dengan baik. Dan sampai kapan pula stasiun itu menjadi kolam ikan. Halo, pemerintah kota Semarang, bagaimana solusinya?


Ayo Turun Nak…..

November 25, 2008

foto-nusantara-27-sept-2007-getty-images1Sore itu Kampung Bukitrejo, Tembalang, Kota Semarang kembali geger. Orang tua, anak-anak, perempuan dan laki-laki berkumpul di bawah sebuah menara listrik tegangan tinggi (Sutet). Mereka memandang ke arah atas dan…oh gosh… seorang perempuan sedang duduk di pucuk menara yang menyalurkan tegangan sekitar 150.000 volt atau lebih itu.

Kata warga di situ, nama perempuan berumur 17 tahun itu adalah Erna Yuliana. Seorang perempuan yang sudah ditinggal bapak dan ibunya. “Ia sudah memanjat menara listrik 4 kali. Kalau mencoba bunuh diri sudah 19 kali,” kata Bambang Purwadi, Ketua RT di kampung itu. Buset…

Yang lebih mengherankan, Erna ternyata sudah ada di pucuk menara itu sejak pukul 08.00. Saya datang sekitar pukul 17.00, berarti sudah lebih 10 jam dia nongkrong di atas menara. Saya mencoba mengamati Erna dengan lebih cermat. Ternyata dia tidak membawa apa-apa selain baju yang dipakai dan sandal jepit di kakinya. Rasa ingin tahu apakah dia lapar atau ingin buang air besar pun memuncak. Sayang, saya tidak bisa menanyakan langsung ke dia.

Tinggi menara itu kira-kira 50 meter. Cukup tinggi memang untuk bunuh diri dan mati dengan cepat. Menara itu dibangun di daerah perbukitan dan pasti Erna bisa melihat seluruh Kota Semarang dengan jelas selama di atas menara.

Rasa heran, takjub, dan ngeri terus bercampur. Heran karena kerangka menara di bagian bawah sudah dipasangi kawat berduri. Logikanya mustahil Erna bisa memanjat dengan mudah (saya saja merasa tidak sanggup hanya dengan melihat kawat duri itu). Lebih gawat lagi, listrik beribu-ribu volt masih mengalir di sekitar Erna. “Orang PLN saja kalau mau naik harus matiin listriknya,” ujar Bambang.

Kenapa Erna yang seorang perempuan muda itu nekat nongkrong di atas menara listrik seharian? “Sejak kelas 3 SD, dia sudah cacat mental. Dia juga pernah mengidap penyakit epilepsi,” tambah Bambang.

Di dekat menara itu ada menara yang sama. Sekitar tiga bulan lalu, Erna pernah memanjat menara itu. Kedua menara itu juga sudah dipasangi kawat berduri.

Aksi nekat Erna di menara memang baru empat kali. Tapi aksi-aksi lainnya yang sebenarnya hanya lazim dilakukan oleh seorang stunt man pernah ia lakukan. Pernah ia mencoba bergelantungan di bawah jembatan atau memanjat atap rumah dan masih banyak lainnya.

Setelah bertanya pada beberapa warga, ternyata Erna memiliki hasrat untuk segera menikah seperti saudara-saudaranya. Tetapi keinginan itu tidak pernah tercapai dan Erna pun semakin menderita.

Tetapi aksi yang dilakukan Erna pada sore itu dipicu oleh kejadian sepele. Ia merasa kecewa sekaligus jengkel terhadap keponakannya yang ngompol di kasurnya. Karena marah, ia lantas nekat memanjat menara itu tanpa sepengetahuan warga lainnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.30 dan hari makin gelap. Namun, Erna tetap saja menolak diminta turun. Ia tetap duduk dengan santai di atas palang tertinggi menara itu sambil melihat ke arah lain.

Tak lama beberapa petugas polisi dari Polres Semarang Selatan datang. Bersama warga, mereka ikut berteriak, memohon Erna untuk turun. Erna..Erna…tetap saja dia tidak menggubris permintaan tetangga-tetangganya.

Setelah berdiskusi dengan warga, Kanit I Polres Semarang Selatan Hengky Prasetyo membuat penawaran dengan Erna. Ia mengambil selembar uang Rp 50.000 dan melambai-lambaikan kepada Erna. “Ayo Na, turun. Kalau mau turun saya kasih uang”.

Ternyata uang berwarna biru itu bukan sesuatu yang menarik bagi Erna. Hengky pun memasukkan uang itu dan mengambil lembaran lainnya. Kali ini berwarna merah, Rp 100.000. Wah…tetap saja Erna emoh dengan bujuk rayu Hengky.

“Heran, biasanya dia mau lho kalau ditawari uang,” kata Bambang. Cara itu selalu dilakukan warga jika Erna sedang melakukan aksi-aksi nekatnya.

Hengky pun mengambil lebih banyak uang, kira-kira ada 5 lembar Rp 100.000-an. Erna hanya melongok ke bawah dan kembali memandangi Kota Semarang seakan tidak ada apa-apa. Hengky pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Polisi dan warga rupanya sudah capek berteriak. Mereka pun meminjam pengeras suara aktif milik salah satu warga. Komunikasi dengan Erna pun kembali dilanjutkan. “Ayo dong, turun Erna. Sudah hampir gelap”. Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu datangnya tim SAR.

“Pokoknya Erna harus dirawat di rumah sakit jiwa setelah kejadian ini,” kata Hengky. Tapi Bambang hanya mendesah. Rupanya ia sudah lama membujuk keluarga Erna soal itu, tapi mereka menolaknya. Entah alasan apa yang mereka miliki. Saya pun tidak bisa mendapat jawaban dari keluarga perempuan malang itu.

“Warga sudah bosan sekaligus jengkel sekaligus khawatir mas, tapi bagaimana lagi,” kata Bambang. Warga pun pernah berpikir untuk meminta Erna agar dipasung. Tapi itu merupakan jalan keluar yang buruk karena pemasungan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Tapi sekali lagi, warga sudah bosan dan capek.

Langit pun semakin gelap dan Erna masih sibuk dengan dunianya sendiri. Sayang, saya tidak bisa melihat bagaimana Erna akhirnya bisa turun. Sore itu saya masih punya utang dua berita yang belum saya ketik untuk dimuat besoknya.

Dalam perjalanan pulang, kejadian itu tidak dapat saya lupakan. Sebuah peristiwa sosial yang sebenarnya banyak terjadi di banyak daerah dalam bentuk berbeda. Depresi yang dialami seseorang toh juga berdampak pada orang lain. Semoga bangsa ini tidak lagi mendapat cobaan-cobaan yang membuat orang bertambah depresi. Semoga tidak ada lagi Erna yang lain. Semoga kita dapat dengan sadar turun dari “menara”. Bisakah?